Terlepat dari informasi dan analisis intelijen yang disampaikan oleh tokoh intelijen Indonesia, ada hal yang perlu untuk diangkat tentang salah satu sebab pemicu munculnya demonstrasi tanggal 25,28 dan 29 Agustus 2025 adalah pentingnya menjaga ucapan atau _hifzh al-lisan_ kata Imam al-Ghazali dalam kitab _Bidayat al-Hidayah_ .
Lebih-lebih ucapan itu lahir dari anggota DPR yang menjadi harapan dan penyambung lidah rakyat dan masyarakat luas. Mereka adalah orang-orang yang seyogyanya mewakili rakyat dalam seluruh ucapan, tingkah laku, dan sepak terjangnya. Bukan sebaliknya, menimbulkan antipati dan melukai perasaan rakyat banyak yang diwakilinya.
Selain itu, tampilan mereka sepatutnya mencerminkan aspirasi dan perasaan serta derita rakyat kecil yang diwakilinya. Bukan sebaliknya, menampilkan gaya hidup yang _vulgar_ dan mewah sehingga memantik rasa tidak suka rakyat banyak.
Sedikitnya ada tiga alasan mengapa sikap, ucapan, dan tingkah laku anggota dewan itu seyogyanya mencermin kan nilai-nilai luhur secara teologis, asketis, dan legalistis.
Secara teologis, jabatan dan kedudukan sebagai anggota dewan itu adalah _amanah_ yang dipikulkan Allah,swt pada mereka melalui suara rakyat yang diwakilinya kala pemilihan umum legislatif tempo hari (QS.al-Ahzab,33: 72).
Diakui dalam ayat itu bahwa manusia _al-insan_ dalam menjalankan amanah Allah yang dibebankan pada mereka suka melakukan dua hal yaitu _zalim_ dan _jahil_ .
Zalim adalah sikap dan ucapan yang melampaui batas kepatutan. Karenanya setiap pengemban amanah haruslah adil bukan sebaliknya zalim. Adil adalah meletakkan sesuatu sesuai dengan yang semestinya. Seorang wakil rakyat seyogyanya merefleksikan perasaan, penderitaan, dan aspirasi rakyat yang diwakilinya.
Jahil adalah sikap tidak mau tahu bagaimana sesungguhnya suasana kebatinan rakyat yang diwakilinya. Karenanya, ucapan yang dapat melukai perasaan rakyat banyak dan masyarakat luas sudah sepatutnya dihindari.
Rasulullah,saw pernah menasehati sahabatnya ketika ditanya tentang amal terbaik yang sepatutnya dilakukan. Beliau,saw menjawab _amsik ‘alayka lisanaka_ jaga lisan dan ucapanmu.
Bahwa seorang anggota parlemen harus bicara, terambil dari asal kata _parler_ artinya berbicara itu sah-sah saja. Sepanjang yang dibicarakan itu memang benar _ash-shidq_ dan bukan bohong _kidzb_ apalagi melukai rakyat dan cermin arogansi.
Apa yang disabdakan Rasulullah,saw itu bukan tanpa alasan. Karena, dalam hadits sahih lainnya, ucapan dan sikap yang benar itu menenangkan _thuma’ni- nah_ sedang ucapan bohong itu _raybah_ meragukan dan membuat heboh. Karena tidak sesuai dengan asas-asas kebenaran.
Alasan asketis adalah realisasi dari pertimbangan- pertimbangan teologis di atas. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa esensi tasawuf adalah _tazkiyyat an-nafs_ upaya sadar untuk mensucikan jiwa atau menjaga hati dari segala bentuk cemaran yang mengkontaminasinya.
Mengutip hadits Rasulullah, saw lisan adalah bagian dari anggota badan _al-jawarih_ yang merefleksikan hati atau _qalb_ manusia. Hati adalah ibarat raja yang ditaati _amir mutha’_ sedang lisan adalah “rakyat”nya. Rakyat bagaimana rajanya. Bila raja itu benar, begitu pikiran al-Ghazali, maka rakyatnyapun benar.
Karena itu ucapan seseorang juga mencerminkan kondisi hatinya. Padahal, hati tidak selamanya steril dari penyakit rohani _an-najasah_ _al-bathiniyyah_ seperti syirk, riya, takabbur, ‘ujub, sum’ah, zhalim, kidzb dan lainnya.
Sikap arogansi, ‘ _ujub_ dan _ananiyyah_ dalam konteks ini menjadi salah satu sebab mengapa munculnya ungkapan-ungkapan yang membuat rakyat terlukai. Tidak salah atau berlebihan bila Imam Al-Farabi dalam _Al-Madinat al-Fadhilah_ mengatakan pemimpin haruslah orang-orang yang memiliki kriteria kenabian dan punya kapabilitas manajerial kenegaraan.
Alasan asketis itu didukung oleh alasan legalistis yaitu _Fiqh Siyasah_ yang berbicara tentang fiqih dalam perspektif politik ketatanegaraan. Ibnu Taymiyah dan juga Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa seorang pemimpin termasuk dalam hal ini pemimpin politik di parlemen haruslah berorientasi pada kemaslahatan atau _manuthun bi al-mashlahah_. Termasuk dalam hal ini setiap ucapan, laku perbuatan, dan sikap terjangnya harus diorientasikan untuk kemaslahatan umat dan bangsa yang diwakilinya.
Semua yang terjadi itu adalah _ibrah_ pelajaran berharga bagi siapa saja yang akan aktif di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif agar bersikap _ihtiyath_ atau berhati-hati. Sikap pruden dan kehati-hatian ini akan berimbas pada kehidupan yang tercerahkan karena bersumber dari hati yang suci, jernih, dan penuh nilai-nilai luhur dalam kehidupan beragama, dan bernegara.